Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development 2018 berjudul The Future of Education and Skills Education 2030 memaparkan beberapa kapabilitas yang perlu dikokohkan ke personal anak-anak. Pertama, rasa ingin tahu, imajinasi, daya tahan, dan kemampuan mengatur diri secara mandiri. Kedua, kemampuan menghormati, menghargai gagasan, perspektif, dan nilai-nilai orang lain. Ketiga, kemampuan mengatasi kegagalan dan penolakan. Keempat, kemampuan bergerak maju untuk menghadapi beragam kesulitan.
Kemampuan-kemampuan tersebut harus dapat diaplikasikan oleh siswa dalam berbagai situasi dan kondisi. Kapabilitas tersebut perlu diinternalisasikan sehingga menjadi inheren dalam diri anak-anak bangsa. Meskipun demikian, berbagai kapabilitas yang coba diinternalisasikan di ruang pendidikan tersebut juga perlu diimbangi dengan semangat pendidikan yang responsif terhadap lokalitas kultural dan alam Nusantara yang sangat kaya.
Kita semua mafhum, masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan alam yang kaya. Dari situ beragam pengetahuan dibangun sebagai mekanisme survival menghadapi alamnya masing-masing. Begitu banyak stock of knowledge yang berserakan di masyarakat yang sesungguhnya dapat menjadi mutiara yang begitu bagus untuk dipelajari anak-anak.
Tetapi, pendidikan di negeri ini, terutama pendidikan formal, sangat kurang porsinya dalam mengakomodasi keragaman pengetahuan atau sering disebut kearifan lokal yang terserak di masyarakat tersebut. Bahkan dalam tensi yang paling buruk, pendidikan di persekolahan (pendidikan formal) cenderung mendegradasi pengetahuan anak-anak tentang lingkungan alam dan sosial budayanya.
Perubahan paradigma dalam pembangunan pendidikan di negeri ini menjadi hal yang niscaya. Apalagi masih lazim kita temui di berbagai tempat yang masih memposisikan anak sebagai objek bukan sebagai subjek pendidikan. Menempatkan mereka sebagai gelas kosong yang harus diisi pengetahuan sebanyak-banyaknya tanpa melihat realitas faktual di sekitarnya. Lembaga pendidikan baik formal, non-formal, dan informal harus mengubah cara pandang.
Menghargai Pengetahuan Lokal
Dalam konteks Indonesia, pendidikan yang memperhatikan kondisi global tetapi tetap menghargai pengetahuan-pengetahuan lokal yang begitu kaya dan terserak di Nusantara perlu diarusutamakan.
Secara praktikal, memang sulit sekali untuk mengkoneksikan dunia pendidikan, khususnya persekolahan formal, dengan kondisi alam dan sosial budaya masyarakat. Jika pendidikan berbasis kearifan lokal yang hidup di masyarakat sifatnya problem solving dan membuat mereka mampu bertahan untuk menaklukkan alam, di sekolah justru anak-anak dijauhkan dari situasi tersebut.
Anak seringkali dipacu untuk belajar sesuatu yang begitu berbeda dengan realita kesehariannya. Orientasi persekolahan menuju ke modernitas dan menjauh dari alam. Padahal di banyak tempat di Indonesia situasi alam dan lingkungan kultural merupakan sumber pembelajaran terbaik yang justru dipinggirkan. Kondisi yang menunjukkan seolah ada benteng yang memisahkan dunia persekolahan dengan alam sekitar.
Indonesia yang begitu kaya alam dan sosio-kulturalnya membutuhkan pendidikan yang memberikan keleluasaan anak didik berkembang berdasar potensi diri dan alam di sekitarnya. Lembaga pendidikan sepatutnya tidak membawa anak-anak menjauh dari jati diri kultural, alam, dan sosialnya. Apalagi Indonesia begitu beragam baik dari situasi geografis, kultural, agama, ataupun kelas sosialnya.
Finlandia dapat dirujuk untuk menerapkan pendidikan yang menghargai keberagaman. Di sana, sekolah diposisikan sebagai bagian dari komunitas. Sekolah sangat menghargai keunikan siswa dan menjamin haknya untuk mendapat pendidikan yang baik. Setiap siswa dihargai pertumbuhannya untuk menjadi manusia yang berpendidikan dan warga negara yang aktif di masyarakat demokratis. Keanekaragaman budaya dijadikan sumber kekayaan dan rujukan untuk memahami kehidupan yang berkelanjutan (Halinen, 2018)
Sayangnya memang pendidikan berbasis sosial budaya ini seolah absen dari realitas pendidikan di negeri ini. Di sinilah peran penting guru sebagai garda terdepan mempraktikkan pendidikan yang menghargai alam dan kultural yang ada di sekitar sekolah. Meskipun memang tidak mudah karena pada praktiknya guru lebih banyak menghabiskan waktunya menyelesaikan berbagai tugas administratif.
Waktu membaca menjadi terbatas apalagi untuk mengeksplorasi lingkungan alam yang ada di sekitarnya tidaklah mudah. Guru harus memiliki imajinasi dan visi pembelajaran yang mumpuni untuk membuat pembelajaran yang mampu mendekatkan anak ke alam dan situasi sosial.
Visi Pemerintah
Pengaplikasian model pendidikan yang lebih mengakomodasi ruang kebebasan bagi anak-anak mengeksplorasi alam dan lingkungan sosial budayanya memang bukan perkara mudah. Perubahan bangunan paradigma pendidikan sangat diperlukan. Apalagi di sisi lain pemerintah cenderung lebih banyak berusaha untuk mengakomodasi standar-standar yang dibangun oleh dunia internasional.
Itu bisa saja dilakukan, tetapi harus diingat betapa beragamnya negeri ini juga kualitas pendidikannya belum merata. Hal yang memperburuk situasi adalah masih ada saja kebijakan-kebijakan pendidikan yang sangat bias wilayah perkotaan yang belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat di berbagai daerah. Menyamaratakan standar adalah kesalahan besar dalam situasi kompleksnya persoalan pendidikan di negeri ini.
Guru yang masuk setiap hari, buku yang lengkap, internet yang memadai misalnya dapat ditemukan di sekolah-sekolah perkotaan. Tapi jika kita datang ke sekolah-sekolah di pelosok negeri, kesemuanya adalah harta yang langka. Dalam konteks ini visi pemerintah sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Visi pendidikan yang membawa anak untuk tidak hanya berfokus pada standar global tetapi juga memperhatikan alam, sosial budaya, atau sejarah masyarakat di tiap daerah.
Selain berharap pada visi pemerintah pusat, maka visi pemerintah daerah menjadi sangat penting. Daerah harus mampu membangun visi pendidikannya berbasis pembangunan daerah tersebut. Memetakan kekayaan alam dan budayanya dan mengoptimalkan anak-anak untuk dapat menjaga alam dan budayanya. Misalnya, pelajaran muatan lokal yang menjadi tanggung jawab daerah harus dioptimalkan untuk membangun pengetahuan khas yang hanya dimiliki daerah tersebut. Pelajaran yang menyadarkan anak-anak tentang kondisi daerah yang mereka tempati.
Untuk di tingkatan pendidikan menengah khususnya SMK misalnya muatan lokal dapat dikembangkan sebagai mata pelajaran dapat memancing minat wirausaha anak-anak. Mereka diajak untuk mengembangkan kesenian, pangan lokal, industri kreatif, dan mampu mengkapitalisasinya secara ekonomi sehingga menjadi sumber penghidupan baru menyokong kehidupan industri daerah.
Pemerintah daerah juga harus memetakan kondisi demografi daerah dan memprediksi dunia kerja apa yang dapat dimasuki anak-anak yang saat ini masih ada di bangku sekolah. Jika fokus pemerintah saat ini pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia, maka agenda pendidikan yang memperhatikan situasi global tetapi tanggap terhadap lokalitas harus dihadirkan di ruang-ruang pendidikan di negeri ini. Kita perlu menyusun ulang agenda pendidikan ke depan.