Bayangkan sebuah dunia di mana tugas-tugas yang bersifat repetitif telah diambil alih oleh robot. Sebuah dunia di mana pabrik mesin mencetak mobil-mobil self-driving, drone antar-jemput dari rumah ke rumah, serta mesin chatbot kecerdasan buatan bisa melayani pelanggan melalui telepon. Hal-hal ini telah terjadi, dan itu hanya sebagian kecil contoh. Setiap hari, di seluruh dunia, pekerjaan formal yang dulu dianggap sebagai domain eksistensi manusia kini telah bertransformasi menjadi lebih otomatis atau digital.
Model pendidikan saat ini sedang mempersiapkan anak-anak kita untuk bekerja dalam ekonomi yang akan punah ketika mereka lulus dari universitas. Tenaga kerja masa depan yang terbangun akan lebih berpusat pada manusia dan layanan kreatif, yang beroperasi melalui saluran sarat digital. Dengan demikian, adalah hal yang vital bagi sektor pendidikan Indonesia untuk berporos ke arah kurikulum modern yang menekankan teknologi dengan sentuhan manusia.
Teknologi pendidikan — biasa disebut ‘edtech’ oleh para pemangku kepentingan dalam permulaan dan permodalan ventura — seringkali diabaikan dibandingkan dengan sub-sektor lain dari ekosistem teknologi. Hal ini dapat terjadi karena pemikiran usang terhadap pendidikan yang menempatkan fokus pada menghafal dan gagasan ‘etika’ yang tidak jelas.
Sementara nilai-nilai tradisional memiliki tempatnya, akan jauh lebih baik menggunakan pendekatan pragmatis untuk pendidikan dan mempertimbangkan fakta bahwa tanggung jawab pertama dan utama lembaga pendidikan di Indonesia adalah untuk membantu siswa tumbuh menjadi kontributor yang sesuai untuk ditempatkan dalam masyarakat.
Lagipula, sentimentalitas tidak memiliki tempat dalam persiapan tenaga kerja yang kompetitif, namun hal ini bukan berarti tenaga kerja digital masa depan akan berperilaku seperti robot. Sebaliknya, mereka akan melakukan hal-hal yang paling manusiawi yang tak terkikis oleh automasi. Pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, kolaborasi, serta komunikasi intim antar manusia tidak dapat digantikan oleh algoritma. Penting sekali untuk melengkapi sekolah-sekolah di Indonesia dengan kapasitas penuh dalam mempersiapkan kaum muda kita untuk ekonomi yang lebih lanjut dengan memaksimalkan transformasi digital sistemik.
Posisi negara saat ini
Indonesia berada pada peringkat 41 dari total 63 negara dalam indeks IMD (Lembaga Manajemen Pengembangan). Sementara negara ini memiliki daya tarik yang diposisikan pada urutan ke 24, kita juga berada di urutan ke-51 berdasarkan faktor investasi dan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia memiliki potensi tinggi untuk berpartisipasi dalam ekonomi global, relatif terhadap posisinya saat ini.
Untuk bisa memaksimalkan potensi ini, jika kita tilik lebih dalam, ada lebih dari 87,2 juta siswa yang terdaftar dalam sistem pendidikan Indonesia. Kebutuhan akan sosok guru juga sangat mengejutkan dan tidak terpenuhi; terwujud dalam rasio 7: 100 antara guru dan siswa. Rasio ini bahkan lebih buruk di pulau-pulau terpencil, di mana sepanjang sejarah sekolah mengalami kekurangan dana dan kekurangan tenaga.
Untuk meningkatkan rasio di atas dan melengkapi para pendidik dengan alat dan teknologi terbaru, sektor publik dan swasta harus bekerja sama untuk mengatasi beberapa hambatan utama dalam digitalisasi.
Pertama, kita harus mengatasi kurangnya modal inovatif di sektor pendidikan. Pemerintahan Jokowi mengusulkan anggaran Rp 585,8 triliun ($ 35,51 miliar) untuk pendidikan pada tahun 2020, meningkat 50 persen dari tahun 2015. Sementara sebagian besar dari anggaran pendidikan selama ini telah dialokasikan untuk beasiswa dan pemeliharaan sekolah, sebagian juga harus disisihkan untuk investasi edtech.
Kedua, ada isu pembangunan infrastruktur tidak merata di setiap sekolah. Terdapat perbedaan mencolok antara sekolah di daerah pedesaan dengan sekolah modern di kota-kota besar yang harus dijembatani. Melengkapi guru dengan kurikulum digital ketika siswa tidak memiliki laptop atau koneksi internet sama dengan hal yang sia-sia. Proyek Palapa Ring, jalan raya serat optik bawah laut baru yang membentang dari Sabang hingga Merauke, adalah salah satu dari banyak solusi potensial untuk masalah ini yang lahir dari kemitraan publik-swasta.
Ketiga, dan yang paling penting, Indonesia membutuhkan lebih banyak guru untuk berpartisipasi menjadi tenaga kerja. Banyaknya inovasi edtech serta uang untuk dibelanjakan pada digitalisasi hanya akan menjadi janji-janji kosong jika tidak ada pendidik yang mau mengajar di lapangan. Memberikan nilai tambah menarik seperti insentif, finansial atau lainnya, bagi para pendidik kelas dunia untuk mengajar di Indonesia adalah salah satu cara untuk men ‘doktrin’, serta meningkatkan prospek negara.